Bergabunglah di grup telegram Urie Join now

Status Anxiety: Cara Santai Memahami Kecemasan Akan Status Sosial

Pelajari apa itu status anxiety menurut Alain de Botton—penyebab dampak & cara mengatasi kecemasan karena takut dianggap tidak penting oleh masyarakat
Status Anxiety

Pernah nggak kamu merasa canggung saat reuni karena teman-teman terlihat lebih “berhasil”? Atau tiba-tiba malu dengan pekerjaan sendiri setelah melihat kesuksesan orang lain di media sosial? Kalau iya, kamu tidak sendiri. Itulah yang disebut status anxiety, atau dalam bahasa Indonesia, kecemasan status.

Menurut Alain de Botton, status anxiety adalah kecemasan kronis yang muncul dari ketakutan tidak dianggap penting atau tidak dihargai secara sosial. Penyebab utamanya? Harapan yang berlebihan—dan sering kali tidak realistis—tentang siapa kita seharusnya di mata orang lain.

Ciri-Ciri Kecemasan Status

Tanda-tandanya sering kali halus tapi nyata dalam keseharian:

  • Terlalu peduli dengan komentar orang lain. Rajin mengecek like dan followers, dan merasa sedih kalau engagement turun.
  • Merasa malu dengan diri sendiri. Entah karena pekerjaan, gaya hidup, atau kondisi finansial.
  • Minder di hadapan orang sukses. Reuni terasa seperti ajang pembuktian.
  • Merasa belum cukup. Selalu ingin membuktikan diri agar dianggap “berharga”.

Kecemasan ini membuat kita terjebak dalam pencarian validasi sosial yang tidak ada ujungnya.

Dampak Negatif Status Anxiety

Kecemasan status bukan sekadar pikiran sepele. Ia bisa berdampak serius pada tiga aspek kehidupan:

1. Mental

Menimbulkan depresi, rasa rendah diri, dan keinginan untuk menarik diri dari pergaulan karena merasa tidak sebanding dengan orang lain.

2. Sosial

Memunculkan rasa iri dan kompetisi tidak sehat, yang ironisnya malah membuat kita semakin kesepian.

3. Spiritual

Kita jadi hidup dalam pencitraan. Mengejar harta dan posisi bukan karena makna, tapi karena gengsi.

De Botton menyebut hidup seperti ini sebagai hidup yang “tidak otentik”.

Empat Sumber Utama Status Anxiety (Menurut Alain de Botton)

Dalam bukunya Status Anxiety, de Botton menjelaskan empat akar utama mengapa manusia modern rentan gelisah terhadap status sosial.

1. Lovelessness – Kekurangan Kasih Sayang

Banyak orang bekerja keras bukan semata karena cinta terhadap pekerjaannya, tapi karena ingin dicintai melalui status dan pencapaian.

De Botton menggambarkan ego manusia seperti balon bocor: terus butuh “helium cinta” dari luar agar tetap mengembang.

Sedikit pengabaian saja bisa membuatnya kempes.

Di masa kecil, cinta sering tanpa syarat. Tapi saat dewasa, kasih sayang berubah menjadi bersyarat: “Aku disayang kalau aku berhasil.

Dan di sanalah akar kecemasan mulai tumbuh.

2. Expectation – Harapan yang Tak Terkendali

Kita hidup di zaman penuh motivasi seperti “asal mau pasti bisa”. Tapi kalimat yang terdengar positif ini bisa menjadi jebakan psikologis.

Menurut de Botton, banyak penderitaan bukan karena kenyataan yang buruk, tapi karena harapan yang tidak realistis.

Di era modern, kegagalan dianggap kesalahan pribadi, bukan bagian dari nasib atau sistem. Maka, harapan yang tidak dikendalikan akan melahirkan keinginan sembrono — dan ujungnya stres.

3. Meritokrasi – Dunia Tanpa Belas Kasihan

Sistem meritokrasi mengajarkan bahwa semua orang akan mendapatkan yang layak mereka dapatkan. Masalahnya, sistem ini juga menanamkan kepercayaan bahwa kegagalan adalah kesalahan pribadi. Begitu seseorang gagal, masyarakat cenderung menganggapnya malas atau bodoh.

Kata de Botton, “status menjadi ukuran moralitas”: orang sukses dianggap baik, sementara yang gagal dianggap buruk. Konsekuensinya? Harga diri kita mudah runtuh saat tidak mampu mencapai standar “sukses” versi dunia modern.

4. Snobbery – Penilaian Dangkal Berdasarkan Status

De Botton menyebut fenomena ini sebagai snobbery — ketika seseorang dinilai hanya dari satu aspek dangkal: jabatan, kekayaan, atau pekerjaan. Pertanyaan seperti “Dia siapa?” sering berarti “Dia kerja di mana?” Nilai hidup pun menyempit hanya pada hal-hal eksternal.

Efeknya? Banyak orang berlomba-lomba mengejar status sosial yang “dianggap berharga” demi diterima. Sementara mereka yang berada di luar kategori itu merasa kecil, minder, bahkan tak layak.

Cara Mengatasi Status Anxiety

Tidak ada solusi instan, tapi ada langkah-langkah kecil yang bisa membantu kita keluar dari pusaran ini:

1. Sadari bahwa nilai diri tidak sama dengan status sosial.

Kita tetap berharga meski tanpa jabatan tinggi atau kekayaan melimpah.

2. Kendalikan harapan.

Alih-alih berusaha “selalu jadi yang terbaik”, fokuslah menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri.

3. Kembangkan belas kasih.

Baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

Dunia yang lebih penuh empati akan mengurangi obsesi terhadap status.

4. Cari makna, bukan gengsi.

Lakukan sesuatu karena itu penting bagimu, bukan karena ingin dilihat “wah” oleh orang lain.

Penutup: Status Tertinggi Adalah Penerimaan Diri

Kita semua ingin dihargai, tapi penghargaan sejati datang dari dalam, bukan dari tepuk tangan orang lain.

Seperti kata Alain de Botton, satu-satunya cara mengatasi status anxiety adalah dengan mengembalikan nilai manusia pada kemanusiaannya, bukan pada statusnya.

Karena pada akhirnya, status tertinggi bukanlah posisi di tangga sosial — melainkan ketenangan saat tahu bahwa kita cukup, bahkan ketika dunia bilang belum.

Menulis banyak topik tentang krisis identitas, insecure, anxiety, overthinking dan kesehatan mental lainnya dipadukan dengan budaya pop dan filsafat.