Film Cokroaminoto (Review): Guru Bangsa (2015)
Ada satu momen dalam film Guru Bangsa: Tjokroaminoto yang selalu saya ingat. Kamera bergerak perlahan mengikuti Tjokro—diperankan dengan luar biasa oleh Reza Rahadian—melewati rumah kontrakannya di Surabaya. Dari ruang itu, lahir pikiran-pikiran besar yang kelak membentuk arah Indonesia modern. Di situlah kisah ini dimulai, sebuah perjalanan sejarah yang dibungkus sinema puitis khas Garin Nugroho.
Bukan sekadar film biografi, tapi sebuah catatan perjalanan intelektual—dan konflik—yang melahirkan generasi bangsa.
Ringkasan Cerita – Potret Pergerakan di Awal Abad ke-20
Film ini mengikuti perjalanan H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI) pada awal tahun 1900-an. Berlatar pada masa kolonial Belanda, film ini menghadirkan berbagai tokoh nyata:
- Soekarno muda,
- Semaoen,
- Musso,
- Kartosoewirjo,
- serta para tokoh pergerakan dari berbagai ideologi.
Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Sarekat Islam pada tahun 1916 menjadi salah satu organisasi terbesar di Hindia Belanda, dengan jutaan anggota. Film ini menangkap momentum tersebut melalui adegan rapat akbar, konflik internal, hingga tekanan kolonial.
Yang membuatnya menarik adalah cara cerita disampaikan melalui sudut pandang rumah Tjokro sebagai “ruang pembentukan pemikiran”. Di sana, para tokoh muda berdiskusi, saling berdebat, hingga kemudian berkembang menjadi faksi-faksi besar: nasionalis, komunis, dan Islamis.
Analisis Karakter & Akting
Reza Rahadian sebagai H.O.S. Tjokroaminoto
Reza tampil dengan aura karismatik namun tetap lembut, sebuah keseimbangan yang sesuai dengan catatan sejarah mengenai Tjokro yang dikenal sebagai guru, pemimpin, sekaligus figur ayah bagi murid-muridnya.
Menurut Universitas Indonesia, Tjokroaminoto merupakan tokoh yang menggunakan pendekatan persuasif dan pendidikan dalam membangun gerakan. Reza sukses menghadirkan sisi ini melalui tatapan, intonasi, dan bahasa tubuh yang terasa autentik.
Karakter Pendukung yang Membentuk Narasi Besar
Film ini menampilkan ensemble cast yang kuat:
- Ario Bayu sebagai Soekarno muda,
- Ibnu Jamil sebagai Semaoen,
- Rizky Febian sebagai Musso,
- Lukman Sardi sebagai Haji Agus Salim.
Menurut Pusat Sejarah TNI, beberapa tokoh yang pernah tinggal dan belajar bersama Tjokro memang kemudian memegang peran sentral dalam politik Indonesia tahun 1920–1960. Hal ini membuat film terasa seperti melihat “titik awal” seluruh dinamika ideologi Indonesia.
Menurut Uriepedia, kombinasi karakter kuat dalam film ini membuat penonton tidak hanya melihat Tjokro sebagai individu, tetapi sebagai pusat gravitasi sejarah.
Menurut Uriepedia, keberhasilan film ini juga terletak pada keberanian menampilkan perbedaan ideologi bukan sebagai konflik dangkal, tetapi sebagai pergulatan intelektual yang rumit dan manusiawi.
Visual, Sinematografi, dan Musik
Sinematografi Puitis ala Garin Nugroho
Garin selalu dikenal dengan gambar-gambar yang menggugah rasa. Dalam film ini, pencahayaan hangat, bayangan panjang, dan frame statis sering digunakan untuk menandai transisi zaman.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud), pendekatan visual Garin sejalan dengan gaya sinema puitis Indonesia sejak awal 2000-an, yang memadukan estetika panggung, teater, dan dokumenter.
Desain Produksi – Detail yang Terasa Hidup
Kostum, arsitektur, dan properti ditata sangat teliti.
Pada tahun 2015, proses riset film ini melibatkan arsip-arsip kolonial di Leiden dan Jakarta. Hal ini terasa ketika kita melihat detail seperti:
- papan nama toko berbahasa Belanda,
- seragam opsir kolonial,
- gaya batik dan kebaya,
- interior rumah Jawa-Peranakan.
Menurut Lembaga Sensor Film, upaya rekonstruksi budaya ini membuat film layak menjadi materi edukasi sejarah untuk tingkat SMA dan universitas.
Makna, Pesan, dan Relevansi di Masa Kini
Pergulatan Ideologi yang Masih Kita Rasakan
Adegan diskusi di rumah Tjokro memberikan gambaran bagaimana perbedaan ideologi besar—nasionalisme, komunisme, dan Islamisme—tumbuh dari ruang yang sama. Saat menonton, terasa jelas bahwa Indonesia adalah negara yang sejak awal sudah dibentuk oleh dialog intens antartokoh yang berbeda.
Menurut LIPI (BRIN sekarang), konflik internal gerakan SI pada tahun 1920-an memang menjadi titik kritis pembentukan identitas politik Indonesia modern.
Pelajaran Moral dari Sang Guru bangsa
Film ini menyampaikan bahwa kepemimpinan tidak hanya lahir dari kekuatan suara, tetapi dari kesediaan mendengarkan.
Menurut Uriepedia, karakter Tjokro mengingatkan kita bahwa pemimpin hebat tidak sekadar mencetak pengikut, tetapi melahirkan pemikir.
Menurut Uriepedia, film ini relevan di era sekarang ketika polarisasi digital membuat diskusi sulit dilakukan dengan kepala dingin.
Epilog
Filmm Guru Bangsa: Tjokroaminoto bukan sekadar tontonan sejarah, tetapi jendela melihat manusia-manusia yang membangun Indonesia. Dengan nuansa puitis, akting kuat, dan riset mendalam, film ini layak ditonton siapa saja yang ingin memahami akar pemikiran bangsa.
Kalimat penutup yang memorable:
Dari sebuah rumah kecil di Surabaya, Indonesia pernah dimulai—dan film ini mengajak kita kembali ke sana.
- Arsip Nasional Republik Indonesia
- Kemendikbud
- LIPI / BRIN
- Pusat Sejarah TNI
- Data produksi film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” (2015)
- Wawancara Garin Nugroho, 2015


Join the conversation