Menyingkap Akar dan Solusi Penderitaan dari Timur dan Barat
Pernah nggak sih kamu merasa hidup ini kayak ujian tanpa akhir? Sudah berusaha sekuat tenaga, tapi hasilnya tak sesuai harapan. Atau merasa sedih tanpa tahu sebabnya. Menurut Ustaz Fahruddin Faiz, akar penderitaan sebenarnya sederhana tapi mendasar: ketidakmampuan mengontrol hasrat dan kurangnya pengetahuan tentang diri sendiri.
Jadi, penderitaan bukan semata “nasib buruk,” melainkan tanda bahwa ada yang perlu kita pahami lebih dalam tentang diri kita.
Ayo kita telusuri makna penderitaan lewat dua jalan besar: filsafat Barat yang melihat penderitaan sebagai tantangan hidup, dan filsafat Timur yang memahaminya sebagai cermin diri.
🧘 Hakikat Penderitaan
Secara sederhana, penderitaan adalah segala hal yang tidak kita sukai—baik secara fisik maupun batin. Tapi ternyata, penderitaan punya beberapa ciri menarik:
1. Penderitaan Prospektif
Kita bisa merasa menderita bahkan sebelum sesuatu terjadi, karena takut terhadap kemungkinan rasa sakit. Misalnya, cemas berlebihan sebelum ujian atau takut gagal padahal belum mencoba.
2. Dualitas Rasa Sakit
Ada sakit jasmani (luka, kelelahan) dan sakit batin (kehilangan, kekecewaan, kesepian). Keduanya sama-sama nyata, hanya berbeda bentuk.
3. Relativitas Intensitas
Setiap orang punya ambang penderitaan berbeda. Luka yang sama bisa terasa ringan bagi seseorang, tapi sangat berat bagi yang lain. Karena itu, jangan menilai rasa sakit orang lain dari ukuran kita sendiri.
🤯 Penderitaan dari Berbagai Filsuf Barat
Bagi para filsuf Barat, penderitaan adalah keniscayaan yang harus dihadapi dengan kesadaran dan keberanian. Mereka tak menolak rasa sakit—mereka memaknai dan melampauinya.
Arthur Schopenhauer: Hidup Adalah Penderitaan
Menurut Schopenhauer, kehidupan digerakkan oleh The Will—keinginan tanpa batas yang jarang terpenuhi. Dari situlah lahir kekecewaan.
Solusinya? Kendalikan dan batasi keinginan, agar kekecewaan tidak memperbudak kita.
Friedrich Nietzsche: Temukan Makna di Dalam Derita
Nietzsche justru menganggap penderitaan sebagai bahan bakar kehidupan.
Katanya: “Hidup berarti menderita; untuk bertahan hidup berarti menemukan makna dalam penderitaan.”
Bagi Nietzsche, solusi bukan menghindar, tapi menemukan makna dan menguatkan Will to Power—semangat untuk bangkit dan menaklukkan diri sendiri.
Albert Camus: Memberontak Melawan Hidup yang Absurd
Camus melihat hidup sebagai hal yang absurd—penuh kontradiksi dan tanpa kepastian.
Namun, katanya, kesadaran terhadap absurditas bukan alasan untuk menyerah, tapi untuk menikmati hidup apa adanya.
Dengan kata lain, kita harus “memberontak dengan tenang” dan tetap hidup penuh kesadaran meski dunia tak logis.
🕉️ Filsafat Timur: Penderitaan Sebagai Cermin Diri
Berbeda dari Barat, pandangan Timur menekankan penyadaran diri dan keseimbangan batin. Penderitaan bukan musuh, tapi guru yang mengajarkan siapa kita sebenarnya.
Filsafat Timur (Umum)
Penderitaan lahir dari kurangnya pengetahuan tentang diri sendiri. Kita sibuk mengejar dunia luar, padahal akar masalah ada di dalam.
Buddhisme: Dukka, Tanha, dan Avidya
Menurut ajaran Buddha, hakikat hidup adalah Dukka (penderitaan).
Penyebab utamanya:
- Tanha: keinginan yang tak terkendali.
- Avidya: kebodohan atau ketidaktahuan akan realitas sejati.
Maka, penderitaan berhenti ketika kita melepaskan nafsu dan menyadari sifat kekal realitas.
Hinduisme: Karma dan Buah Perbuatan
Dalam Hindu, penderitaan adalah buah dari karma (Karma Phala)—hasil moral dari perbuatan masa lalu.
Penderitaan bukan hukuman, tapi panggilan untuk memperbaiki diri agar tidak mengulang kesalahan.
Taoisme: Melepas yang Fana
Taoisme mengajarkan bahwa penderitaan datang karena kita melekat pada hal-hal duniawi—kekayaan, status, kemuliaan.
Solusinya? Berbuat baik tanpa pamrih dan hidup selaras dengan alam.
Sufisme: Derita sebagai Jalan Pembersihan Jiwa
Dalam mistisisme Islam (Sufisme), penderitaan seperti puasa dan riyadhah adalah cara untuk melemahkan nafsu jasmani dan menguatkan rohani.
Semakin jernih jiwa, semakin ringan beban dunia.
Ki Ageng Suryomentaram: Hidup Itu Mulur-Mungkret
Filsuf Jawa ini berkata, penderitaan (susah) muncul saat keinginan mulur (mengembang) tapi tak tercapai.
Namun, begitu keinginan mungkret (menyusut), hati jadi tenang. Artinya, bahagia itu ketika kita berhenti memperbesar keinginan.
⚖️ Mahatma Gandhi dan Tujuh Dosa Sosial Penyebab Penderitaan
Menurut Mahatma Gandhi, penderitaan sosial muncul karena ketimpangan moral dan nilai kemanusiaan. Ia menyebut tujuh dosa sosial yang memicu penderitaan kolektif:
- Politik tanpa prinsip
- Bisnis tanpa moralitas
- Pengetahuan tanpa karakter
- Sains tanpa kemanusiaan
- Kekayaan tanpa kerja
- Kenikmatan tanpa nurani
- Ketakwaan tanpa penyangkalan diri
Ketika dosa-dosa sosial ini berkembang, penderitaan tidak lagi bersifat pribadi, melainkan sistemik.
🔑 Tiga Kunci Menghadapi Penderitaan
Penderitaan memang tak bisa dihapus, tapi bisa dikelola dan dimaknai.
Berikut tiga langkah spiritual yang bisa kita jalani:
1. Sabar & Muhasabah
Latih ketenangan batin. Tahan dulu emosinya sambil refleksi diri: kenapa ini terjadi? apa yang bisa saya perbaiki?
2. Tilawah & Hikmah
Baca situasi secara sadar. Cari pelajaran berharga dari setiap kesulitan, karena di balik setiap luka, selalu ada hikmah.
3. Tazkiah & Islah
Bersihkan diri (Tazkiah) dari sifat negatif, lalu perbaiki hubungan sosial (Islah)—karena penderitaan pribadi sering menular ke sekitar.
🌱 Penutup: Penderitaan Sebagai Guru Kehidupan
Akhirnya, kita sadar bahwa penderitaan bukan musuh, melainkan guru yang keras tapi jujur.
Baik Schopenhauer, Nietzsche, Camus, Buddha, atau Gandhi—semuanya sepakat: rasa sakit adalah jalan menuju kesadaran.
Karena, seperti kata pepatah Timur,
Yang belum menderita belum mengenal dirinya.


Join the conversation