Bergabunglah di grup telegram Urie Join now

Review Fight Club: Kritik Terhadap Kapitalisme & Gaya Fetisisme Komoditas ala Karl Marx

Fight Club adalah refleksi yang menggugah kita untuk berpikir tentang hubungan kita dengan kapitalisme, konsumerisme & identitas kita sebagai individu
review film fight club

Fight Club (1999) adalah salah satu film yang selalu saya anggap sebagai karya yang mendalam dan menggugah pikiran. Bukan hanya soal kekerasan, kebingungannya, atau pertarungan bawah tanah—ini adalah film yang penuh dengan kritik tajam terhadap kapitalisme dan fetisisme komoditas, konsep yang dipopulerkan oleh Karl Marx. Sejujurnya, pertama kali saya menonton film ini, saya hanya berpikir, "Wow, keren banget!"—terutama adegan pertarungan yang penuh energi dan ketegangan. Tapi setelah beberapa kali menonton dan merenung lebih dalam, saya mulai menyadari bahwa ada banyak lapisan yang perlu dibongkar di balik kekacauan yang terlihat.

Bagi yang belum menonton, Fight Club adalah kisah tentang seorang pria yang terjebak dalam kehidupan monoton dan penuh tekanan sebagai karyawan perusahaan. Setelah bertemu dengan Tyler Durden, seorang karakter eksentrik dan karismatik, mereka mulai mendirikan klub pertarungan bawah tanah yang, lambat laun, berkembang menjadi organisasi yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Namun, seperti yang akan saya bahas di sini, di balik kisah adrenalin ini ada kritik mendalam terhadap masyarakat kapitalis.

Kapitalisme dan Konsumerisme: Menjajah Jiwa Manusia

Dari sudut pandang saya, Fight Club adalah alegori yang menggambarkan bagaimana kapitalisme telah merusak identitas manusia. Tokoh utama, yang tidak memiliki nama dalam film (dikenal sebagai "The Narrator"), digambarkan sebagai seseorang yang merasa teralienasi dari dirinya sendiri dan dunia sekitar. Keinginan untuk memiliki barang-barang mewah, seperti furnitur IKEA yang disebutkan di awal film, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh konsumerisme dalam hidup kita. Kita sering merasa bahwa kebahagiaan dan makna hidup datang dari barang-barang yang kita miliki, padahal sejatinya mereka hanya membuat kita semakin jauh dari diri kita yang sejati.

Dari perspektif Marxian, ini adalah contoh jelas dari fetisisme komoditas—ketika nilai barang lebih dihargai daripada nilai manusia atau relasi sosial yang tercipta di dalamnya. Dalam film, Tyler Durden mengajak kita untuk melepaskan diri dari belenggu barang-barang dan kebiasaan konsumtif yang menjerat kita. Mungkin banyak dari kita pernah merasa bahwa pekerjaan, materi, dan status sosial adalah hal yang harus dikejar tanpa henti, padahal pada kenyataannya, hal-hal ini tidak memberikan kepuasan sejati.

Tyler Durden: Manifestasi Ketidakpuasan Terhadap Kapitalisme

Tyler Durden, karakter yang diperankan oleh Brad Pitt, adalah perwujudan dari segala yang berlawanan dengan tatanan kapitalis yang ada. Tyler adalah seorang pria yang bebas dari segala norma sosial dan materialisme. Bahkan, pada titik tertentu, ia menyatakan bahwa "hal-hal yang kamu miliki akhirnya memiliki kamu." Ini adalah titik balik yang mencerminkan kritik Marxian terhadap kapitalisme—kapitalisme tidak hanya menjual barang, tetapi juga menjual identitas dan kebahagiaan kita. Kita akhirnya terperangkap dalam lingkaran setan konsumerisme, membeli lebih banyak untuk merasa lebih baik, namun tetap merasa kosong.

Namun, di sini ada jebakan yang harus diwaspadai. Meskipun Tyler memberikan solusi untuk melepaskan diri dari kapitalisme dengan cara yang radikal—yaitu, menghancurkan segala bentuk konsumerisme—pendekatannya justru memperparah masalah. Dia membawa para pengikutnya untuk mengambil tindakan destruktif, tanpa menawarkan alternatif yang lebih konstruktif. Ini adalah sisi gelap dari kritik film terhadap kapitalisme: bahwa kadang-kadang kita merasa bahwa satu-satunya cara untuk melawan sistem yang merusak ini adalah dengan merusaknya sendiri.

Kesimpulan: Kritik Terhadap Kapitalisme dalam Bentuk yang Menggugah

Akhirnya, Fight Club adalah sebuah refleksi yang menggugah kita untuk berpikir tentang hubungan kita dengan kapitalisme, konsumerisme, dan identitas kita sebagai individu. Film ini menunjukkan bagaimana kapitalisme telah membentuk cara kita melihat dunia dan diri kita sendiri, dan bagaimana kita sering kali terjebak dalam pencarian barang dan status sebagai pengganti kebahagiaan sejati. Tetapi film ini juga memperingatkan kita bahwa berusaha melawan sistem ini tanpa pemahaman yang lebih dalam bisa membawa kita ke dalam jalan yang salah—dalam hal ini, jalan kekerasan dan penghancuran.

Melihat kembali, saya pikir Fight Club lebih dari sekadar film tentang pria yang bertarung satu sama lain. Ini adalah film tentang berjuang melawan diri kita sendiri, terhadap dunia yang terus-menerus mengajarkan kita untuk mendefinisikan diri melalui barang-barang yang kita miliki. Menurut saya, pelajaran utama yang bisa kita ambil adalah pentingnya menemukan makna dan kebahagiaan yang lebih dalam daripada hanya sekadar mengejar kekayaan atau status sosial.

Menulis banyak topik tentang krisis identitas, insecure, anxiety, overthinking dan kesehatan mental lainnya dipadukan dengan budaya pop dan filsafat.