Bergabunglah di grup telegram Urie Join now

Apa itu Compulsive Decluttering? Faktor Penyebab & Dampaknya

Compulsive Decluttering adalah kebalikan dari hoarding disorder, yaitu dorongan berlebihan dalam menyingkirkan barang-barang

Compulsive decluttering, atau dorongan berlebihan untuk menyingkirkan barang, adalah perilaku di mana seseorang merasa terus-menerus terdorong untuk membersihkan dan mengurangi barang-barang di sekitar mereka, bahkan hingga tahap ekstrem.

Berbeda dari gaya hidup minimalis yang didasarkan pada prinsip kesederhanaan dan kesadaran, compulsive decluttering seringkali dilakukan tanpa alasan yang jelas dan didorong oleh perasaan cemas atau tidak nyaman. Ketika dorongan untuk mengosongkan ruang menjadi sulit dikendalikan, hal ini dapat menyebabkan hilangnya barang-barang penting atau bahkan merusak hubungan sosial dan kualitas hidup.

Memahami apa itu compulsive decluttering dan dampaknya pada kesehatan mental sangat penting agar kita bisa membedakan antara gaya hidup sehat yang terorganisir dan perilaku yang justru merusak keseimbangan hidup.

Apa itu Compulsive Decluttering

Apa Itu Compulsive Decluttering?

Compulsive decluttering adalah perilaku berlebihan dalam membersihkan atau menyingkirkan barang-barang di lingkungan sekitar, sering kali tanpa alasan yang jelas atau di luar kebutuhan. Seseorang yang mengalami compulsive decluttering merasa terdorong untuk membuang barang secara terus-menerus, bahkan ketika barang tersebut masih berguna atau memiliki nilai sentimental.

Dorongan ini umumnya didorong oleh perasaan cemas, ketidaknyamanan, atau kebutuhan untuk memiliki kendali penuh atas ruang di sekitar mereka.

Dikutip dari Oxford University Press, istilah Compulsive Decluttering baru ditambahkan ke dalam Oxford English Dictionary pada bulan Juni 2015. Pada buku The Life-Changing Magic of Tidying Up karya Marie Kondo yang menteorikan keajaiban unik dari rumah yang rapi.

Perbedaan dari Minimalisme

Meskipun sekilas mirip, compulsive decluttering berbeda dengan minimalisme atau kebiasaan decluttering yang sehat. Minimalisme adalah pilihan gaya hidup yang didasarkan pada prinsip kesederhanaan dan kesadaran, di mana seseorang dengan sengaja memilih untuk mengurangi barang-barang yang tidak diperlukan demi meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi stres. Dalam minimalisme, keputusan untuk menyingkirkan barang biasanya dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan berfokus pada kebahagiaan atau nilai fungsional.

Sebaliknya, compulsive decluttering sering kali dilakukan dengan dorongan impulsif tanpa alasan rasional dan sering kali diiringi penyesalan setelah barang sudah dibuang. Seseorang dengan perilaku compulsive decluttering merasa bahwa mereka harus terus-menerus membersihkan dan membuang barang agar merasa lega, meskipun tindakan ini tidak memberikan kepuasan jangka panjang.

Contoh Compulsive Decluttering

Contoh compulsive decluttering bisa terlihat dalam kehidupan sehari-hari ketika seseorang membuang barang-barang penting atau fungsional hanya karena merasa terganggu dengan keberadaannya. Misalnya, mereka mungkin merasa perlu membuang peralatan dapur yang masih berfungsi baik, buku-buku kesayangan, atau barang-barang pribadi lainnya karena dorongan untuk memiliki ruang yang kosong.

Mereka juga bisa sering kali menyesal setelahnya, menyadari bahwa mereka telah membuang barang yang memiliki makna atau masih berguna, namun terus mengulangi perilaku ini karena merasa “terganggu” dengan kepemilikan barang yang menurut mereka tidak perlu.

Penyebab Compulsive Decluttering

1. Faktor Psikologis

Compulsive decluttering sering kali berakar dari faktor psikologis seperti kecemasan, stres, atau kebutuhan untuk memiliki kontrol penuh atas lingkungan sekitar. Bagi sebagian orang, menyingkirkan barang-barang dapat menjadi cara untuk meredakan kecemasan atau mengatasi perasaan stres yang muncul akibat kekacauan atau kepemilikan berlebih.

Saat mereka membuang barang, ada perasaan lega sementara yang muncul dari lingkungan yang lebih kosong dan tertata. Namun, dorongan ini dapat berlanjut secara kompulsif sebagai respons terhadap kecemasan, bahkan ketika barang yang dibuang sebenarnya masih berguna atau memiliki nilai.

Pada akhirnya, compulsive decluttering menjadi mekanisme kontrol di mana individu merasa dapat mengendalikan satu aspek dari hidupnya ketika mungkin mereka merasa kehilangan kendali di aspek lainnya.

2. Gangguan Mental

Compulsive decluttering juga terkait erat dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dan gangguan psikologis lainnya. Pada beberapa kasus, orang dengan OCD dapat merasa bahwa mereka harus membuang barang untuk mencapai rasa "bersih" atau "teratur," meskipun tindakan tersebut dilakukan secara berlebihan dan tidak rasional.

Perilaku ini juga bisa disertai dengan pikiran berulang yang memicu kecemasan atau ketidaknyamanan ekstrem apabila mereka merasa bahwa ruang mereka penuh atau tidak tertata sempurna. Selain OCD, compulsive decluttering juga bisa berhubungan dengan gangguan kecemasan lain, seperti kecemasan sosial atau gangguan kecemasan umum, di mana mengosongkan ruang dianggap sebagai cara mengurangi rangsangan yang dianggap berlebihan atau mengganggu.

3. Pengaruh Sosial dan Lingkungan

Pengaruh sosial dan lingkungan juga berperan dalam meningkatkan dorongan untuk compulsive decluttering. Tren minimalisme yang populer di media sosial, dengan tampilan rumah yang bersih, teratur, dan rapi, sering kali memberikan tekanan bagi sebagian orang untuk terus menyingkirkan barang agar rumah mereka terlihat "sempurna" seperti yang terlihat di media.

Norma sosial yang menekankan kesederhanaan dan keteraturan ini dapat memicu perasaan bahwa memiliki barang lebih banyak adalah tanda ketidakrapian atau kekacauan. Selain itu, lingkungan yang penuh tekanan atau tuntutan hidup yang tinggi dapat membuat seseorang mencari pelampiasan atau pelarian dalam bentuk membersihkan atau mengosongkan ruang secara berlebihan.

Bagi sebagian orang, mengurangi barang-barang di sekitar mereka dianggap sebagai cara untuk menciptakan kedamaian atau keteraturan di tengah-tengah kesibukan hidup yang penuh tekanan.

Tanda-tanda Compulsive Decluttering

Tanda-tanda Umum

Tanda-tanda compulsive decluttering biasanya ditandai dengan dorongan terus-menerus untuk menyingkirkan atau membuang barang, meskipun barang tersebut masih memiliki nilai atau berfungsi dengan baik. Orang yang mengalami compulsive decluttering sering merasa bahwa mereka tidak pernah benar-benar puas dengan lingkungan mereka, sehingga selalu ada keinginan untuk “merapikan” atau “mengosongkan” lebih banyak ruang.

Mereka mungkin membuang barang-barang tanpa pertimbangan matang, dan sering kali menyesal setelahnya, menyadari bahwa mereka telah menyingkirkan barang yang sebenarnya mereka butuhkan atau yang memiliki nilai sentimental. Meski merasa lega sejenak setelah decluttering, perasaan tersebut cepat menghilang, digantikan oleh kecemasan baru yang mendorong mereka untuk mengulangi perilaku ini lagi.

Dampak pada Kualitas Hidup

Perilaku compulsive decluttering dapat berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan sosial, kondisi finansial, dan kesejahteraan emosional. Seseorang yang terus-menerus menyingkirkan barang mungkin mendapat kritik dari keluarga atau teman, terutama jika barang-barang yang dibuang adalah milik bersama atau memiliki nilai sentimental bagi orang lain.

Hal ini bisa memicu ketegangan dan konflik dalam hubungan, serta membuat orang di sekitarnya merasa tidak nyaman atau cemas. Selain itu, compulsive decluttering dapat menimbulkan stres finansial jika barang-barang yang dibuang terus diganti atau jika ada kebutuhan mendesak akan barang yang sudah terlanjur dibuang.

Secara emosional, mereka yang mengalami compulsive decluttering sering kali merasa cemas, tidak puas, dan terjebak dalam siklus penyesalan yang berulang, yang pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan dan kebahagiaan hidup mereka.

Dampak Negatif dari Compulsive Decluttering

Kehilangan Nilai Sentimental

Salah satu dampak negatif dari compulsive decluttering adalah hilangnya barang-barang yang memiliki nilai sentimental. Ketika dorongan untuk menyingkirkan barang dilakukan secara berlebihan, seseorang mungkin tanpa sadar membuang benda-benda yang menyimpan kenangan atau makna emosional.

Kehilangan barang-barang seperti foto keluarga, hadiah dari orang terkasih, atau barang-barang yang memiliki cerita pribadi dapat menimbulkan rasa penyesalan dan kesedihan mendalam setelahnya. Benda-benda ini sering kali sulit atau bahkan mustahil untuk digantikan, sehingga kehilangannya meninggalkan kekosongan yang bisa membebani secara emosional.

Stres dan Kecemasan

Meskipun tujuan dari decluttering sering kali untuk mengurangi stres, compulsive decluttering justru bisa menciptakan lebih banyak stres dan kecemasan. Dorongan yang terus-menerus untuk mengosongkan ruang atau membuang barang menciptakan ketidakpuasan yang tidak pernah terpenuhi.

Setiap kali seseorang membuang barang, mereka mungkin merasakan kepuasan sementara, tetapi dorongan untuk membuang lagi segera muncul, menciptakan siklus yang tak berujung. Akibatnya, mereka menjadi lebih cemas, merasa lingkungan mereka tidak pernah cukup “rapi” atau “kosong,” sehingga stres meningkat.

Ini bisa membuat mereka merasa terjebak dalam pola yang sulit dihentikan dan akhirnya malah menambah beban mental.

Gangguan dalam Hubungan

Compulsive decluttering juga dapat mengganggu hubungan dengan keluarga, pasangan, atau teman. Ketika seseorang membuang barang-barang tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau preferensi orang lain, hal ini dapat menimbulkan konflik, terutama jika barang yang dibuang memiliki nilai bagi orang di sekitarnya.

Misalnya, pasangan atau anggota keluarga mungkin merasa tidak nyaman atau marah ketika barang-barang penting bagi mereka disingkirkan tanpa diskusi. Kebiasaan ini bisa menciptakan perasaan bahwa orang tersebut tidak menghargai kebutuhan atau kepentingan orang lain, yang dapat memperburuk hubungan dan mengakibatkan ketegangan atau bahkan jarak emosional dalam hubungan sosial.

Cara Mengatasi Compulsive Decluttering

1. Penerimaan Diri dan Latihan Kesadaran

Langkah pertama dalam mengatasi compulsive decluttering adalah mengembangkan kesadaran tentang perilaku ini dan menerima bahwa lingkungan tidak selalu perlu terlihat sempurna atau kosong. Melatih diri untuk menerima ketidaksempurnaan dapat membantu mengurangi dorongan untuk terus membuang barang.

Praktik mindfulness atau latihan kesadaran diri dapat bermanfaat dalam mengidentifikasi pemicu di balik keinginan untuk declutter secara berlebihan. Dengan memahami bahwa perasaan cemas atau tidak nyaman bisa muncul tanpa perlu langsung ditanggapi dengan tindakan, seseorang bisa lebih mudah mengendalikan dorongan mereka.

2. Mencari Dukungan Profesional

Mencari bantuan dari profesional kesehatan mental dapat menjadi langkah yang efektif dalam mengelola compulsive decluttering. Terapi, khususnya terapi perilaku kognitif (CBT), adalah pendekatan yang umum digunakan untuk membantu individu mengatasi pikiran dan perilaku obsesif-kompulsif.

Dalam CBT, individu belajar mengenali pikiran atau keyakinan yang mendasari perilaku decluttering mereka, serta mengembangkan strategi untuk merespons pikiran-pikiran tersebut dengan cara yang lebih sehat dan seimbang. Terapi ini juga dapat membantu individu membangun mekanisme untuk mengatasi kecemasan yang memicu perilaku ini.

3. Mengembangkan Batasan Sehat

Mengembangkan batasan yang jelas antara kebutuhan untuk declutter dengan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan hidup adalah kunci dalam mengatasi compulsive decluttering. Menetapkan aturan seperti “hanya declutter satu kali dalam sebulan” atau “tidak membuang barang tanpa mempertimbangkan nilai atau fungsinya” dapat membantu mencegah dorongan yang berlebihan.

Menyusun daftar barang yang benar-benar dibutuhkan dan yang tidak diperlukan dapat membantu dalam proses ini, sehingga decluttering menjadi lebih terarah dan rasional, bukan impulsif.

4. Latihan Menahan Diri

Latihan untuk menahan diri dalam membuang barang juga penting untuk mengatasi compulsive decluttering. Salah satu teknik yang bisa digunakan adalah menunda keputusan membuang barang selama beberapa hari atau bahkan seminggu. Dengan menunda, seseorang memberi diri mereka waktu untuk berpikir ulang dan memastikan bahwa barang tersebut benar-benar tidak diperlukan.

Jika setelah beberapa hari barang tersebut masih dianggap tidak berguna, barulah keputusan dibuat dengan lebih bijaksana. Latihan ini membantu individu mengembangkan kemampuan untuk mempertimbangkan dengan matang sebelum membuang barang, sehingga keputusan yang diambil lebih berdasarkan kebutuhan nyata dan bukan hanya dorongan sementara.

Pencegahan dan Cara Menjaga Batas yang Sehat

1. Membangun Kebiasaan Decluttering yang Sehat

Untuk mencegah compulsive decluttering, penting untuk membangun kebiasaan decluttering yang sehat. Salah satunya adalah dengan membuat jadwal rutin, seperti merapikan barang setiap beberapa bulan sekali, dan bukan setiap kali muncul dorongan untuk membuang barang.

Fokus pada area tertentu dalam rumah satu per satu dan batasi waktu decluttering agar aktivitas ini tidak dilakukan secara berlebihan. Kebiasaan ini membantu menjaga rumah tetap rapi tanpa menimbulkan dorongan impulsif untuk selalu membuang barang.

2. Memahami Nilai dari Kepemilikan

Memahami dan menghargai nilai dari kepemilikan barang-barang bisa membantu seseorang menahan dorongan untuk membuang barang secara berlebihan. Fokuskan perhatian pada makna dari setiap barang yang dimiliki dan kembangkan apresiasi terhadap apa yang sudah dimiliki, baik itu barang yang memiliki nilai sentimental maupun barang yang memiliki fungsi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Melakukan ini membantu seseorang membedakan antara barang yang memiliki makna atau kegunaan dan yang memang perlu disingkirkan.

3. Peran Dukungan Sosial

Dukungan sosial juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan perilaku decluttering. Lingkungan yang mendukung, seperti keluarga atau teman yang memahami pentingnya batasan yang sehat, bisa memberikan perspektif lain ketika seseorang merasa dorongan berlebihan untuk declutter.

Mengobrol dengan orang-orang terdekat dapat memberikan pandangan yang lebih rasional tentang nilai suatu barang dan membantu mengurangi kecemasan yang memicu perilaku compulsive decluttering. Dukungan sosial ini juga bisa berfungsi sebagai pengingat bahwa menjaga keseimbangan lebih penting daripada memiliki lingkungan yang sempurna secara visual.

Kesimpulan Compulsive Decluttering

Compulsive decluttering, meskipun terlihat sebagai upaya untuk menciptakan ruang yang bersih dan teratur, dapat menjadi perilaku yang merugikan jika dilakukan secara berlebihan dan tidak terkendali.

Dorongan untuk terus-menerus membuang barang tanpa alasan yang jelas sering kali didorong oleh kecemasan, stres, atau perasaan tidak puas, yang pada akhirnya dapat mengganggu kualitas hidup, hubungan sosial, dan kesejahteraan emosional. Jika tidak dikelola dengan baik, perilaku ini bisa menyebabkan kehilangan barang-barang berharga, baik secara fungsional maupun sentimental, serta memperburuk kecemasan dan stres.

Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami compulsive decluttering yang mengganggu kehidupan sehari-hari, sangat penting untuk mencari bantuan profesional. Terapi perilaku kognitif (CBT) dan dukungan dari psikolog atau terapis dapat membantu mengelola dorongan ini dengan cara yang lebih sehat dan seimbang.

Jangan ragu untuk mencari bantuan jika perilaku ini sudah mulai merusak kesejahteraan mental dan emosional.

Seorang penulis amatir yang selalu ingin belajar untuk terus mengembangkan diri dalam mencapai potensi penuh sebagai manusia bumi.